Jumat, 04 Februari 2011

Review Film

Sebenarnya ini tugas kuliah..
tapi kalau menurutku bagus, kenapa tidak aku post'kan aja..
iya gak?
betul.betul.betul?
^,^

Cin(T)a, film dokumenter (indie) yang diproduksi oleh Sembilan Matahari Film dan disutradrai oleh Sammaria Simanjuntak ini telah membawa nuansa baru bagi perfilman Indonesia yang belakangan ini hanya diramaikan oleh film-film horor yang terkesan porno dan vulgar, dan film percintaan yang mudah ditebak alurnya. Meskipun film Cin(T)a ini mengambil tema percintaan, namun film ini menawarkan suatu hal yang baru yaitu menampilkan nilai-nilai filosofis tentang perbedaan, cinta, dan Tuhan.
Film ini secara umum menceritakan tentang bagaimana dua orang yang berbeda agama dan suku saling mencintai tetapi terpisahkan oleh perbedaaan mereka dalam menyembah dan menyebut Tuhan. Film yang mengambil setting tempat di Institut Teknologi Bandung ini menceritakan tentang seorang pemuda keturunan Tionghoa yang biasa kita kenal dengan sebutan orang Cina yang merantau dari Medan ke Bandung guna meneruskan pendidikannya sebagai arsitek bertemu dengan seorang mahasiswi seniornya dikampus yang merupakan seorang artis terkenal di Indonesia. Pemuda ini seorang mahasiswa Kristen yang cerdas dan memiliki prinsip-prinsip hidup yang ia pegang teguh namun juga berpikiran terbuka terhadap perubahan, sedangkan mahasiswi senior ini seorang muslim yang memiliki paras cantik namun karena tekanan hidup sebagai seorang selebriti menjadikannya sangat lemah dalam nilai akademik. Pemuda ini memandang remeh kakak seniornya ini, namun takdir selalu mempertemukan mereka dalam hal-hal yang tidak terduga. Sampai pada suatu saat pemuda ini dihadapkan pada pilihan sulit, yaitu ketika ia harus memilih beasiswa keluar negeri yang disetujui atau didukung oleh ayahnya atau bertahan di ITB dengan mencari dana pendidikan sendiri, sehingga ia yang memang cerdas dan kreatif berniat menghasilkan uang dari usaha membantu mahasiswa-mahasiswa arsitektur lain yang mengalami kesulitan membuat maket untuk TA. Kebetulan mahasiswi senior yang selalu ia remehkan ingin menggunakan jasanya. Dari situlah kedekatan mereka terjalin sampai akhirnya mereka saling jatuh cinta meskipun mereka tahu ada perbedaan yang fundamental di antara mereka.
Namun, secara khusus film ini memiliki cerita yang menarik, yaitu tentang bagaimana kedua tokoh yang menghadapi perbedaan fundamental ini menjalani dan memandang perbedaan-perbedaan di antara mereka yang akhirnya menuntun mereka dalam proses pengenalan akan Tuhan. Perbedaan-perbedaan diantara mereka ini dapat kita tangkap melalui dialog-dialog antara kedua tokoh yang berbau filosofis mengenai Tuhan, agama dan cinta itu sendiri. Inti dari film ini terdapat pada dialog ringan kedua tokohnya tentang bagaimana mereka memahami dan mengartikan keberadaan Tuhan dalam hidup mereka. Apakah Tuhan itu lebih tepat diumpamakan sebagai arsitek ataukah lebih tepat sebagai seorang sutradara?
Menurut dialog dalam film ini Tuhan sebagai seorang arsitek adalah Tuhan yang menciptakan semua ciptaanNya seperti mozaik dalam sebuah maket dengan bentuk, corak, warna dan ukuran yang tepat. Meskipun melalui proses yang panjang dan berat tetap semuanya pasti baik dan indah pada akhirnya sehingga manusia sebagai ciptaanNya tidak perlu bertanya-tanya apa maksud Tuhan dalam kehidupannya mereka karena Dia pasti akan memberikan yang terbaik kepada ciptaanNya dengan perhitungan yang cermat, teliti dan tepat layaknya arsitek. Tuhan sebagai arsitek inilah yang dipercayai tokoh utama laki-laki yang bernama Cina. Menurut Cina, Tuhan menciptakan segala sesuatu baik dan indah pada akhirnya. Segala perbedaan diciptakan untuk suatu kesatuan seperti yang diungkapkannya dalam istilah “United In Diversity”. Tuhan menciptakan perbedaan-perbedaan itu agar Ia disembah dengan berbagai cara dan panggilan/nama. Berangkat dari pemikirannya tersebut, Cina kemudian membuat konsep maket bernamaKampung-Kota”, yaitu tempat yang dirancang untuk orang-orang dari segala lapisan, golongan, suku, dan agama berkumpul dalam suatu komunitas tanpa mempersoalkan apa latar belakang mereka layaknya mozaik.
Sedangkan Tuhan sebagai sutradara adalah Tuhan yang mengendalikan ciptaan-ciptaanNya sesuai dengan kehendaknya dan keinginanNya. Tuhan sebagai sutradara memberikan esensi ke-Esa-anNya sebagai pengatur memberikanNya berbagai pilihan tentang bagaimana kisah-kisah dalam filmNya (hidup ciptaanNya.red) harus diakhiri. Apakah berakhir “happy ending” atau sebaliknya. Hal itu adalah otoritasNya sebagai sutradara. Tuhan yang seperti inilah yang dipercayai oleh Annisa, tokoh utama perempuan dalam film ini. Latar belakangnya sebagai artis yang dicap “gagal oleh orang-orang disekitarnya karena dianggap hanya bermodalkan kecantikan, ayahnya yang telah meninggal serta ibunya yang kawin-cerai sehingga menjadi pemberitaan utama di media secara luas juga meninggalkan luka yang dalam bagi kehidupannya. Terlebih ketika sang ibu mencoba untuk menjodohkan dirinya kepada seorang lelaki Cina tua yang juga kaya raya dan seagama dengannya. Hal-hal tersebut yang membuatnya merasa bahwa dirinya bukanlah dirinya tetapi Tuhan yang mengendalikannya melalui orang-orang terdekatnya, sehingga otoritasnya sebagai seorang manusia hanyalah ilusi semata.
Perbedaan filosofis antara kedua tokoh tersebutlah yang memberikan warna khusus dan keunikan dari film ini. Annisa yang kemudian “berteman dekat” dengan Cina secara perlahan-lahan mulai masuk kedalam dunia filosofsi Cina tentang Tuhan, cinta, keberagaman dan tentu saja “akhir yang indah”. Tetapi pada klimaksnya, semua romantisme itu sirna ketika tragedi bom di gereja-gereja terjadi. Cina yang mempercayai bahwa Tuhan pasti menciptakan makhlukNya untuk suatu tujuan yang indah mulai kehilangan pijakannya. Penilaiannya tentang Tuhan berubah drastis. Tuhan dinilainya hanya sebagai konsep yang hanya menimbulkan pertikaian, perang dan kehancuran diantara umat manusia. Bahkan disatu sisi, digambarkan Cina yang mulai mencoba menampikkan adanya Tuhan dalam hidupnya dengan menjadi atheis. Kecintaannya terhadap Tuhan hilang, ia hanya mempercayai cintanya terhadap Annisa.

I.            ANALISIS KARAKTER CINA DAN ANNISA
Dalam film Cin(T)a ini ada dua tokoh utama dan sentral yaitu tokoh Cina yang diperankan oleh Sunny Soon dan tokoh Annisa yang diperankan oleh Saira Jihan. Tokoh Cina yang merupakan mahasiswa Kristen perantau dari Medan memiliki karakter khas perantau yaitu, mandiri, bertanggung jawab, memiliki pendirian dan prinsip yang kuat serta sangat mencintai Tuhannya. Ia juga sosok yang cerdas dan kritis, sangat suka berdialektika, serta cinta dengan perdamaian. Namun, ketika ia menghadapi kenyataan bahwa semua yang ia percayai kandas, ia menjadi sosok yang kehilangan pijakan, menjadi lemah, prinsipnya runtuh, mudah tergoyahkan, bahkan menentang Tuhannya. Ia menjadi sangat kecewa kepada keadaan dan menyalahkan Tuhannya akan semua yang terjadi. Sementara tokoh Annisa adalah seorang mahasiswi yang juga bekerja sebagai aktris, ia digandrungi banyak lelaki, namun banyak memiliki tekanan hidup yang membuatnya menjadi orang yang sering merenung, pendiam, dan kesepian. Berbanding terbalik ketika ia mulai nyaman berada bersama dengan Cina. Ia menjadi sosok yang cerdas, tak kalah berdialektika dengan Cina, semangat menghadapi hidup, dan yang terpenting adalah ia tidak lupa akan kebutuhannya menyembah Tuhannya. Namun, sesungguhnya dibalik itu semua karakter utama Annisa adalah orang yang pasrah (biasa disebut nerimo dalam bahasa Jawa), ketika ia bersama Cina, meskipun ia tetap setia pada Tuhannya, namun ia terbawa konsep Cina tentang Tuhan, lalu diakhir cerita ia kembali pada konsepnya sendiri tentang Tuhan.


II.          INTERPRETASI
Dalam menginterpretasikan film Cin(T)a ini, penulis mencoba melakukan pendekatan menggunakan teori-teori filsafat yang ada. Teori filsafat yang penulis anggap mengena dan sesuai untuk menganalisa film ini antara lain adalah pendekatan Filsafat Kebudayaan, Filsafat dan Agama, Hermeneutika, Filsafat dan Ideologi, dan Penalaran. Metode yang digunakan dalam analisis ini yaitu menganalisis dialog atau percakapan yang terjadi antara kedua tokoh utama, dan melihat makna simbol-simbol yang coba ditampilkan oleh sutradara.

1. Filsafat dan Agama
Telah sama-sama kita ketahui bahwa filsafat dan agama merupakan dua hal yang berbeda. Filsafat adalah cara manusia untuk mencari dan mengantarkan dirinya kepada penemuan tentang kebenaran melalui proses berpikir, sedangkan dalam agama kebenaran itu tidak dicari melainkan sudah ada dan bersifat mutlak karena datangnya dari wahyu Tuhan dan dengan demikian tidak lagi pemikiran yang digunakan untuk memahami kebenaran itu melainkan hati yang percaya terhadap apa yang sudah diwahyukan tersebut.
Dalam film ini agama menjadi persoalan inti yang ingin diceritakan. Perbedaan agama dalam sebuah cerita percintaan yang dialami oleh kedua tokoh utama digambarkan dengan sangat apik. Begitu pun proses bagaimana kedua tokoh tersebut menyikapi perbedaan tersebut dituangkan dengan sangat arif oleh kedua tokoh tersebut. Seringkali bahkan hampir disetiap dialog kedua tokoh ini tentang perbedaan yang ada dituangkan dalam bentuk percakapan yang filosofis yang melibatkan cara berpikir kedua tokoh ini tentang agama mereka dan Tuhan mereka. Mereka mencoba menemukan kebenaran dari agama mereka melalui perbedaan-perbedaan yang ada dengan cara mereka berpikir dan menyampaikannya kepada satu sama lain sehingga mereka tetap saling menghargai pemikiran satu sama lain dan agama mereka masing-masing seperti tertuang dalam beberapa dialog berikut;
                Annisa: “Gua gak suka sama nama gua.”
                Cina: “Kenapa?”
                Annisa: “Di dalam surat An-nisa ada tafsir yang nyaranin untuk mukul istri.”
                Cina: “Nikah kok kayak main tinju.”
                Annisa: “Islam bukan agama barbar.”
Dialog ini terjadi mengalir begitu saja ketika mereka melakukan pembicaraan ringan tentang nama mereka masing-masing. Tapi bisa dilihat di sini bahwa mereka mencoba menyampaikan perbedaan pemikiran mereka masing-masing tentang Islam dengan cara yang bebas namun disikapi dengan cara yang lugas dan tidak sembarangan dikeluarkan tanpa proses berpikir.
                Cina: “Kata Tuhan aku, kalau ditampar pipi kiri kasih pipi kanan.”
                Annisa: “Keburu bonyok duluan dong.”
                Cina: “Demi world peace.”
                Annisa: “Kalau ada yang nampar pipi kiri lo, lo tampar balik pipi dia, lo pastiin dia gak bisa
seenaknya nampar pipi orang lain lagi, baru dunia damai.”
                Cina: “Semangat balas dendam dicampur semangat nyalahin orang lain, that really helps
                           to promote the world peace.”
                Annisa: “Kenapa Allah nyiptain kita beda-beda kalau Allah cuma mau disembah dengan
                                satu cara?”
                Cina: “Makanya Allah nyiptain cinta biar yang beda-beda bisa nyatu, tapi tetap yang benar
                           cuma satu.”
 Cina merupakan umat yang taat dan memiliki pendirian teguh akan apa yang diyakininya termasuk Tuhannya. Ia sangat memuja dan mencintai Tuhannya, maka disetiap aspek kehidupan ia selalu mengedepankan cara-cara yang diajarkan Tuhannya untuk bersikap dan bertindak. Ketika Cina dan Annisa sedang bersenda gurau, Annisa tak sengaja menampar pipi kiri Cina, kemudian lahirlah dialog di atas. Dialog tersebut lahir dari kebenaran yang mutlak yaitu dari wahyu Allah ketika Cina berbicara tentang jika ada yang menampar pipi kirimu berikan pipi kananmu, hal itu nyata tertuang dalam Alkitab umat Kristen. Dalam hal ini Cina mencoba menjelaskan apa yang agamanya ajarkan secara ringan kepada Annisa yang seorang muslim. Namun hal itu justru menuntun Annisa untuk mengajukan pertanyaan filosofis tentang perbedaan yang ada yang kemudian juga dibalas dengan tanggapan filosofis dari Cina. Hal ini juga sebagai salah satu wujud bahwa apa yang benar secara mutlak dalam agama selalu menimbulkan pertanyaan bagi para filsuf dan orang-orang yang berpikir kritis serta mencoba mencari kebenaran dari proses berpikir. Itulah sebabnya agama dan filsafat sangat erat hubungannya. Karena seperti kita tahu bahwa manusia pada hakikatnya adalah manusia berpikir maka sudah suatu kewajaran apabila kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan terhadap kebenaran mutlak tersebut.
Cina: ”Tambah apa lagi yah nis?”
Annisa: ”Karena gua Islam, jadi hiasannya ketupat aja yah?”
Cina: ”Ahh. Masuk neraka kau!”
Annisa: “Kenapa emangnya?”
Cina: “Tadi pagi aku baca selebaran di kampus, katanya ngucapin selamat natal aja tuh
           haram, apalagi ikut meriahin natal.”
Annisa: “Islam kan banyak. Ada ulama yang bilang boleh juga kok. Di Islam itu kelahiran
                Yesus juga ada tau.”
Cina: “Kalau gitu kenapa kalian gak ngerayain?”
Annisa: “Karena lo dianggap salah, masa rasul dijadiin Tuhan? Makanya ada yang
ngelarang nyelamatin natal karena dianggap ikut membenarkan ajarannya.”
Percakapan ini menjadi menarik ketika Cina secara sengaja atau pun tidak telah menjebak Annisa seolah-olah ikut memeriahkan perayaan natal dengan membantunya memasang dan memilihkan hiasan pohon natal. Ditambah dengan pertanyaan Cina tentang haramnya merayakan natal bagi umat Muslim. Melalui dialog ini terlihat jelas perbedaan pandangan kedua agama yang mereka yakini masing-masing. Cina tidak bisa membantah kebenaran mutlak yang menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhannya, namun, ia juga tidak bisa membantah kebenaran mutlak dari agama Islam yang dianut oleh Annisa yang menganggap bahwa Yesus yaitu Nabi Isa adalah Rasul bukan Tuhan. Tetapi mereka bisa menyampaikan ide dan pertanyaan-pertanyaan mereka dengan cara yang santai namun mengena dan mendapatkan sebuah kebenaran yang akhirnya bisa membuat mereka memahami perbedaan di antara mereka. Itulah kekuatan filsafat, yaitu menjelaskan dan menjawab sesuatu guna mencapai kepada pemikiran yang benar dan terbuka tentang sesuatu hal yang masih sering menjadi pertanyaan baik dalam diri individu maupun masyarakat luas.

2. Filsafat dan Kebudayaan
            Kebudayaan merupakan jalan atau pun arah dalam bertindak dan berpikir yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan adat istiadat. Melihat dari definisi tersebut dapat juga disimpulkan bahwa kebudayaan itu pada akhirnya semestinya dapat membawa manusia pada tingkatan interaksi kehidupan yang teratur dan luhur. Seringkali kebudayaan timur menjadi tolok ukur kebudayaan yang masih menjunjung tinggi norma-norma kehidupan yang tinggi. Di Indonesia sendiri sepertinya kebudayaan yang luhur tersebut perlahan tapi pasti mulai terkikis oleh perkembangan zaman dan masuknya pengaruh-pengaruh luar yang dibawa oleh media informasi. Gejala-gejala inilah yang kemudian menjadi kajian dari filsafat kebudayaan. Filsafat kebudayaan memberikan gambaran keseluruhan mengenai gejala kebudayaan (bentuk, nilai, dan kreasinya). Tugasnya untuk menyelidiki hakekat kebudayaan, memahaminya berdasarkan sebab-sebab dan kondisi-kondisi esensialnya.
            Dalam film ini masalah yang bisa ditelisik menggunakan filsafat kebudayaan adalah tentang bagaimana bangsa Indonesia yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika masih saja cenderung memiliki gejala budaya fanatisme, hidup berkelompok-kelompok, dan juga terpaku pada kepentingan golongan mayoritas. Digambarkan bahwa perbedaan agama yang ada di Indonesia antara agama mayoritas dan agama minoritas belum bisa saling berdampingan satu sama lain. Belum ada kesatuan dan saling menghargai satu sama lain. Kaum minoritas selalu tidak memiliki kesempatan untuk berkembang, diperburuk dengan pola pikir dan cara pandang yang belum terbuka dan masih membela kelompok masing-masing sehingga pada akhirnya ada fenomena saling menyalahkan, provokasi, dan perpecahan. Dan hal itu membudaya dalam beberapa kelompok besar masyarakat Indonesia. Sebenarnya melalui cerita cinta kedua tokoh utama dalam film ini, sang sutradara ingin mematahkan fenomena yang selama ini terjadi yaitu perbedaan tidak bisa bersatu. Terbukti dengan hubungan kedua tokoh yang walaupun berada dalam perbedaan yang bersifat fundamental, mereka tetap bisa saling menghargai dan menghormati satu sama lain tanpa ada intrik-intrik perpecahan diantara mereka. Namun kembali lagi ketika yang berbicara adalah budaya kelompok maka ceritanya bisa lain, seperti yang diceritakan dalam film ini.
                Cina: “Minum dulu biar tenang.”
                Annisa: “Aku gak enak banget jadi Muslim kalau lagi ada kejadian kayak gini. Maaf banget
                                Cin.”
                Cina: “Bukan salah kau kok. Ada benarnya juga, sudah tahu Indonesia mayoritas Muslim,
                          malah bikin gereja.”
                Annisa: “Zaman dulu Muslim minoritas juga, Hindu semua di Negara ini. Bisa jadi 10 tahun
                                lagi yang mayoritas Kristen.”
                Cina: “Mungkin ini petunjuk dari Tuhan. Harusnya orang Kristen itu pergi dari Indonesia.
                           Aku mau ke Singapur, mereka nawarin beasiswa.”
                Annisa: “Bukannya kamu juga dapat beasiswa di sini?”
                Cina: “Kayaknya aku kurang pintar untuk dapat beasiswa di sini.”
                Annisa: “Siapa yang jadi gubernur Tapanuli?”
                Cina: “Kayaknya aku kurang Muslim untuk jadi pemimpin di negara ini.”
            Percakapan ini memberi gambaran yang kurang menyenangkan. Seharusnya dengan segala macam perbedaan dan keberagaman yang ada di Indonesia, kita sebagai masyarakat Indonesia memiliki budaya berpikir yang terbuka terhadap perbedaan. Bahwa perbedaan jangan dijadikan batasan melainkan warna-warni yang melengkapi dan member keindahan. Mengapa orang minoritas selalu merasa tidak diberi kesempatan? Mengapa sampai muncul kesimpulan apabila bukan bagian dari kelompok mayoritas maka tidak memiliki kesempatan hingga akhirnya banyak kaum minoritas menjadi patah arang dan apatis terhadap bangsa dan negaranya? Dan merasa berada di negara lain akan lebih aman daripada di negara sendiri? Semua disebabkan kurang tertanamnya budaya saling menghargai dan menghormati di masyarakat kita.
            Selain itu adapula kutipan pernyataan salah satu tokoh yang menggambarkan bahwa budaya kapitalisme sudah masuk dan tertanam di kehidupan masyarakat Indonesia terlepas dari agama mana mereka berasal.
            Cina: “Well, this is not Christmas anyway, ini bukan natal. Don’t worry lah. Kalau Tuhan
kau tanya, I’ll tell Him that we’re just participating in a big commercialism of

                           Christianity to support the advance goals of capitalism.”
Bahkan untuk memperingati hari kelahiran Yesus, masyarakat Kristen di Indonesia telah terbawa budaya kapitalis dengan menjadikan peringatan tersebut cenderung kepada perayaan yang hingar-bingar dibandingkan dengan merefleksikan diri menyambut dan menerima kelahiran Yesus dengan kesiapan rohani. Keindahan fisik berupa hiasan pohon natal, hiasan rumah, kado natal dan baju baru lebih penting dari pada pembaruan jiwa menerima kelahiran Yesus. Di mana sejujurnya hal ini tidak hanya terjadi di agama Kristen saja tapi di Islam pun demikian. Dari pada mempersiapkan hati yang benar-benar fitri, banyak orang yang justru berlomba-lomba memberikan zakat guna mendapatkan kehormatan, pujian dan penghargaan dari manusia. Umat Muslim berbondong-bondong menyerbu pasar guna membeli pakaian baruyang kadang masih disalahgunakan, yaitu untuk menjadi yang terbaik, tercantik, dan yang paling mempesona di hadapan manusia, bukan di hadapan Tuhan. Hal ini sudah menjadi kebudayaan yang mendarah daging dan diwariskan turun-temurun, generasi ke generasi.
            Aspek kebudayaan lainnya adalah tertuang dalam dialog berikut;
            Cina: “Ditulis aja lah, bikin film terlalu instan.”
                Annisa: “Generasi kita gak mempan dikasih tulisan. Kita ini generasi get philosophy in the
                                movie.”
            Cina: “Filosofi kok di film? Kek gini lah jadinya anak muda zaman sekarang, kalau hasil
                           filsafat barat tak ada pun kedalamannya.”
                Annisa: “Dari pada gak tahu sama sekali.”
                Cina: “Kalau tahu dikit malah bahaya. Biasanya malah jadi atheis.”
Inilah potret kebanyakan anak muda generasi bangsa kita sekarang ini. Jarang sekali yang ingin belajar (learning), kebanyakan hanya sebatas memenuhi belajar (studying) saja. Minat baca anak-anak kini kurang, budaya membaca sudah jauh tertinggal dibandingkan dengan budaya melihat/menonton. Selain itu generasi muda kini cenderung ingin sesuatu yang cepat tanpa perlu repot dan lama-lama berproses. Budaya proses lebih penting dibandingkan hasil, kini lambat laun semakin terganti dengan budaya hasil lah yang utama bukan prosesnya. Hal ini menjadi fenomena yang semakin jelas terjadi di masyarakat kita. Guna mencapai standar nilai yang bagus, hasil yang bagus, pemerintah melupakan proses penyamarataan kualitas pendidikan di seluruh pelosok Indonesia. Pemerintah hanya memikirkan kuantitas, yaitu standar nilai pendidikan di Indonesia bisa meningkat. Ironisnya hal ini justru mengorbankan kepentingan anak didik.

3. Penalaran
            Tokoh Cina dalam film ini seringkali menggunakan kesimpulan-kesimpulan sendiri untuk menilai sesuatu. Bahkan tak jarang ia mengganti bunyi suatu hukum dengan hukum penemuannya sendiri. Hukum ini tentunya bukan sembarangan ia dapatkan. Ia menghasilkannya dari proses penalaran dimana penalaran itu sendiri diperoleh dari pengalaman inderawi (observasi empiris) yang menghasilkan konsep berpikir yang baginya benar.
            Cina: “Hukum Newton I: Kecantikan berbanding terbalik dengan kepintaran.”
Hal inilah yang dikemukakan Cina ketika pertama kali mendapati banyak orang yang mengagumi Annisa karena kecantikannya. Hal ini menjadi valid ketika ia menemukan transkrip nilai Annisa yang hasilnya menunjukkan Indeks Prestasi Annisa hanya 2.1 sesuai dengan dugaannya. Kemudian setelah berteman lama dan menjadi cukup dekat dengan Annisa, ia mempunyai konsep baru yaitu Hukum Newton II yang berbunyi “Cewek cantik pasti gak ngerasa cantik.” Dan Hukum Newton III, “Cewek cantik pasti kesepian.”
Semua konsep berpikir yang dikemukakan oleh Cina dalam film ini merupakan konsep penalaran induktif. Berangkat dari hal yang khusus kemudian menuju hal yang umum. Cina selalu menjadikan Annisa sebagai tolok ukur wanita cantik tersebut. Annisa wanita cantik, Annisa tidak pintar, Annisa tidak merasa cantik, dan Annisa hidup dalam kesepian. Dari sinilah kemudian muncul semua penalaran induktif yang menjadikan Cina melihat bahwa Annisa adalah representasi seluruh wanita cantik.

4. Ideologi
            Ideologi merupakan kumpulan ide/gagasan yang menjadi patokan asasi tingkah laku seseorang yang melahirkan aturan-aturan dan membentuk konsep hidup. Berangkat dari penjelasan yang demikian, ideologi tidak hanya ada dalam kehidupan berpolitik, maupun bernegara, tapi bisa juga dalam kehidupan pribadi. Seperti halnya Cina dan Annisa yang memiliki ideologinya sendiri-sendiri tentang Tuhan dan bagaimana Tuhan bekerja dalam kehidupan mereka. Ideologi yang mereka yakini ini lah yang juga menjadi dasar bagi mereka dalam menyikapi hidup, segala bentuk cobaan maupun sukacita. Dalam sebuah percakapan Cina berkata bahwa Tuhan baginya adalah seorang arsitek yang mahatahu akan rancangan yang baik bagi umatNya. Desain atau rancangan Tuhan dalam hidup pasti akan sempurna, tidak semrawut. Dia dapat menggabungkan bentuk dan fungsi, seni dan iptek, dan menggunakan semuanya itu untuk satu tujuan yaitu kemuliaan namaNya. Dengan ideologi inilah Cina bertumbuh selama ini, menjadikannya seorang yang selalu melihat segala sesuatunya memiliki nilai positif dan pasti akan berakhir bahagia nantinya. Maka dari itu ia tidak begitu masalah dengan perbedaan yang ada antara ia dan Annisa dalam menjalin cinta, ia juga tidak takut akan masa depan pendidikannya ketika ayahnya tidak mampu membiayainya kuliah dan ia dihadapkan pada dua beasiswa yang menjanjikan. Kehidupannya sejauh ini meskipun berkerikil selalu diberikan hal-hal yang indah dan kesuksesan sampai suatu kali Annisa bertanya apakah ia tak pernah gagal? Lalu jawabnya dengan lugas, “gak lah, siapa dulu Tuhan aku!” namun Cina lupa dari semua yang positif pasti ada sisi negatif, itu yang luput dari pemahaman Cina selama ini.
            Sedangkan Annisa, kehidupannya yang seharusnya sempurna yaitu berparas cantik, bisa berkuliah di salah satu universitas bergengsi, menjadi artis yang popular di Indonesia. Tapi itu semua tak lantas membuatnya merasakan dan hanya melihat satu sisi kuasa Tuhan saja. Ia juga memperhatikan betapa Tuhan yang memberinya wajah cantik, tapi Tuhan juga yang mengizinkan lingkungan mencelanya karena kecantikan parasnya. Tuhan yang mengizinkan ia menjadi seorang artis, tapi Tuhan juga yang mengizinkan skandal orang tuanya yang kawin-cerai merusak citranya di mata publik. Bagi Annisa, Tuhan adalah sutradara, Tuhan yang mengendalikan ciptaan-ciptaanNya sesuai dengan kehendak dan keinginanNya. Tuhan sebagai sutradara memberikan esensi ciptaanNya untuk kesenanganNya semata. Ke-Esa-anNya sebagai pengatur memberikanNya berbagai pilihan tentang bagaimana kisah-kisah dalam “film”Nya harus diakhiri. Apakah berakhir “happy ending” atau “sad ending”. Hal itu adalah otoritasNya sebagai sutradara. Inilah yang menjadikan Annisa memiliki konsep hidup yang pasrah dan menerima segala persoalan dalam hidupnya dengan berbesar hati. Ia tidak pernah menyalahkan maupun meninggalkan Tuhannya, tapi justru ia selalu berserah akan apa yang terjadi dan menjalaninya mengalir seperti air, karena baginya ia tidak akan bisa melawan otoritas sutradara dalam “film” yaitu kehidupan, karena ia hanyalah seorang artis yang harus berlakon sesuai dengan apa yang sutradara inginkan. Ideologi ini pada akhirnya membawa Annisa pasrah dan menerima perjodohannya dengan seorang lelaki Cina tua beragama Muslim dari pada meneruskan hubungannya dengan Cina. Mungkin hubungan itu akan ia teruskan bila saja Cina tidak menjadi sosok yang kemudian tidak ia kenal. Perubahan pada diri Cina membawanya kembali pada konsep Tuhan itu sutradara, tidak ada akhir yang selalu indah seperti yang dikonsepkan oleh Cina, yang ada adalah terserah Tuhan, bagaimana akhir dari kehidupan kita.

4. Hermeneutika
            Pada kesempatan ini penulis tidak melakukan tafsir terhadap teks tertulis seperti yang dimaksudkan dan biasa dilakukuan dalam konteks hermeneutika. Melainkan pada kesempatan ini penulis mencoba mengkaji tentang symbol-simbol yang selalu muncul sepanjang film ini diputar. Simbol itu datang dar kehadiran semut disepanjang cerita ini. Ketika Cina dan Annisa melihat ataupun bermain dengan semut, mereka selalu bilang “Jangan dibunuh! Nanti juga dia pergi sendiri kalau sudah tidak ada yang manis.” Semut selalu dihadirkan ketika Annisa dan Cina sedang berdua mencoba mengagumi satu sama lain. Tetapi semut juga hadir tatkala Cina akhirnya kehilangan pijakannya dan mulai berbalik menganggap Tuhan itu tidak adil, Tuhan itu lebih baik tida ada. Disimbolkan bahwa Cina pada akhirnya membunuh semut itu di depan salib Tuhan yang dulu ia puja dan sembah. Selain itu semut juga muncul diakhir cerita ketika Annisa akhirnya berpisah dengan Cina dan memilih menerima perjodohan yang dilakukan oleh ibunya. Semut itu muncul diair siraman Annisa ketika ia menjalankan prosesi adat Jawa.
            Apa sebenarnya yang diwakilkan oleh semut dalam film ini? Kita tahu bahwa semut adalah binatang yang senang berada di dekat sesuatu yang manis. Maka dari itu Cina dan Annisa mengatakan bahwa semut akan pergi ketika ia tidak lagi menemukan ada yang manis. Mungkin dalam film ini semut melambangkan manisnya rasa yang dirasakan oleh dua insan manusia yang sedang jatuh cinta. Makanya semut selalu diminculkan ketika Cina dan Annisa secara sadar atau tidak sedang memupuk rasa kagum dan cinta terhadap satu sama lain. Selain itu ada beberapa nalogi tentang semut yang bisa kita jadikan gambaran untuk menjawab mengapa semut selalu dimunculkan? Berikut analoginya;
·         Peduli
Semut adalah makhluk yang peka terhadap segala hal yang terjadi dalam lingkungannya serta selalu memelihara rasa cinta kasih dan peduli akan sesama. Hal ini terlihat ketika semut muncul waktu Cina akhirnya membantu Annisa membuat maket guna mendapatkan nilai dan lulus TA. Dalam hal ini semut juga muncul ketika mereka beradu argument tentang pernikahan yang seharusnya menjadi sebuah ibadah dan tidak boleh dijadikan arena tinju antara suami terhadap istri. Di sini terjadi perdebatan antara Annisa dan Cina dengan masing-masing menjunjung tinggi agamanya namun tidak juga merendahkan yang lain. Mereka tetap menunjukkan kepedulian akan perasaan satu sama lain.
·         Antusias
Selalu bersemangat dan berfikir positif dalam setiap melakukan tindakan yang akan mereka lakukan. Itulah yang tercermin dari diri Cina. Cina sosok yang energik dan selalu berpikir positif tentang hidupnya, maka dari itu semut lebih banyak muncul bersama dengan Cina daripada ketika dengan Annisa. Namun hal itu hilang ketika Cina merasakan Tuhan tidak adil dan ia mulai menemukan sisi-sisi negatif dari ideology yang selama ini ia pegang. Hal ini menjadikannya hilang arah bahkan sempat menjadi atheis dan apatis. Ia kehilangan antusias dalam hidupnya dan kecintaannya kepada Tuhannya yang kemudian digambarkan dalam adegan Cina membunuh semut yang selama ini tidak pernah ia bunuh di depan salib Yesus di dalam gereja.
·         Inisiatif
Memiliki kemauan yang amat kuat untuk mencapai hasil maksimal dan maju tanpa menyimpang dari norma dan aturan. Inilah cerminan hubungan percintaan yang Cina dan Annisa jalani. Mereka memiliki keinginan yang kuat untuk saling menyatu dan bersama, namun mereka tetap menjunjung tinggi ideologi dan juga kecintaan mereka terhadap Tuhan mereka masing-masing. Maka ketika mereka sedang bersama, semut sering pula dimunculkan.
·         Inovatif
Selalu berani mencoba hal yang dianggap baru dan mempunyai potensi untuk maju. Inilah makna ketika ada semut yang mondar-mandir di atas maket Annisa dimana ia membuat konsep pembuatan maket yang dianggap oleh beberapa orang kurang mungkin direalisasikan. Dalam hal tersebut Annisa ingin membuat konsep baru dimana segala bentuk fasilitas yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh orang kaya saja, kini juga bisa dinikmati oleh orang-orang menengah kebawah sampai kelas bawah. Namun kemudian Cina muncul dan memberikan konsep baru yaitu konsep mozaik yaitu konsep dimana mozaik itu berbeda-beda dalm segi bentuk, warna, tekstur, tapi jika dilihat dari jarak yang tepat akan menjadi suatu kesatuan yang indah, sama seperti maket “Kampung Kota”, berbeda-beda suku, agama, status sosial, namun jika dilihat dari segi yang tepat akan menjadi satu kesatuan yang indah. Sepanjang pembuatan maket oleh Cina dan Annisa, semut selalu ada berjalan di maket yang mereka buat. Ini menandakan adanya gagasan dan inovasi baru yang ditampilkan oleh kedua tokoh tersebut dalam wujud maket.
·         Komunikasi
Memiliki kemampuan baik secara teknik untuk menyampaikan sesuatu hal yang baru dengan informasi yang baik tanpa ada salah persepsi. Hal ini jelas sekali terlihat disimbolkan dalam bentuk semut yang selalu berada diantara Cina dan Annisa dimana mereka selalu berkomunikasi dengan baik tentang perbedaan-perbedaan yang ada diantara mereka.
·         Kerja Sama
Mampu membentuk team work dan kemitraan untuk mencapai suatu tujuan hingga kesuksesan dapat diraih oleh team. Ini juga jelas sekali muncul ketika mereka bersama-sama membuat maket guna kelulusan TA Annisa. Dan juga kerja sama kedua tokoh untuk membangun hubungan yang harmonis dalam perbedaan yang ada. Dan ketika hubungan itu tidak lagi bekerja dengan baik dan Annisa memilih untuk menjalani hidupnya sendiri lepas dari Cina dan sebaliknya, semut yang berada dalam tempat yang berbeda di mana Cina dan Annisa berada menjadi symbol runtuhnya team work yang selama ini mereka bangun, yang kini harus mereka jalani sendiri-sendiri meskipun masih ada cinta untuk satu sama lain dalam hati mereka.

III.        PENUTUP
Film Cin(T)a ini telah membawa warna baru dan kembali memanggil kita semua untuk menjadi manusia yang lebih berpikir dan terbuka terhadap suatu perbedaan yang ada. Jangan sampai esensi Bhineka Tunggal Ika runtuh hanya karena ego kita pribadi dan golongan. Film ini sangat menginspirasi yaitu khususnya bagi insan perfilman untuk tertantang membuat karya-karya yang orisinil, menarik, dan memiliki pesan mendalam bagi lapisan masyarakat. Sehingga dapat membantu menjadi media pencerdas bangsa. Maju terus perfilman Indonesia, terus belajar dan jangan menyerah. Contohlah semut!

1 komentar: