Kamis, 23 Juni 2011

Laura, please say “Hi..” to me

Semalam aku memimpikan seorang gadis Tionghoa. Gadis itu membuatku menangis ketika aku bangun dan mendapati bahwa aku hanya bermimpi. Terakhir kali aku mendengar suaranya yang khas itu adalah dimalam sebelum aku pergi ke Bali.

“Tuhanlah kekuatan dan mazmurku…Dia gunung batu dan keslamatanku…” nada dering handphoneku melantun. Nomer yang tertera di layar tidak ku kenal, aku ragu untuk mengangkatnya (baca: tidak suka mengangkat telepon dari nomor tak dikenal), namun dorongan untuk mengangkatnya juga kuat. Alhasil aku mengangkatnya.

“Halo, ethe…!!! Lama banget ngangkatnya?” suara diseberang sana terdengar merajuk dan itu tidak asing bagiku.

“Eh, iya maaf... napa Ling?” langsung ku tembak saja si penelepon itu dengan menyebut namanya.

“Wah, lu masih kenal aja suara gw The…walaupun lu dah sombong sama gw…lu emang sahabat sejati gw…” ujar gadis diseberang itu padaku.

***

Fe Ling (Laura) dan aku memang sudah bersahabat sejak kelas 1 SMA, kami begitu dekat karna begitu banyak persamaan dan perbedaan diantara kami. Kami berbagi segala hal. Rahasianya banyak padaku begitu pula rahasiaku disimpannya dengan rapi. Tapi sejak ia pindah sekolah ketika kelas 2 SMA hubungan kami agak sedikit renggang karna tidak bisa lagi sering bertemu, namun kami masih intens berkomunikasi lewat telepon, sms, bahkan bertemu saat weekend. Jarak semakin membentang ketika aku memasuki masa kuliah, Laura yang tidak meneruskan langkahnya untuk kuliah merasa kutinggalkan ketika aku sibuk dengan adaptasiku ditahun pertama kuliah. Dan kesibukanku berlanjut hingga sekarang. Namun dibeberapa momen penting, aku berusaha untuk hadir disampingnya.

Misalnya waktu ia harus pergi ke Italia untuk mencari peruntungan di sana, ia memintaku dengan sangat untuk bisa mengantarkannya ke bandara. Aku dengan segenap ketulusanku meninggalkan kuliahku pada hari itu demi mengantarnya. Tiap kuingat saat itu, mataku pasti berkaca-kaca. Setelah sekian lama hubungan kami renggang, saat itu kutemui diriku ada dihadapannya untuk melepasnya pergi jauh ke negeri orang tanpa tahu apakah ia akan kembali atau menetap di sana. Saat itu aku merasa satu kakiku hilang ditelan bumi hingga tubuhku goyah tak bisa berdiri dengan baik, sahabat terbaikku pergi meninggalkan aku dan segudang cerita tentang kami. Air mata kami terurai satu sama lain ketika aku memeluknya di detik-detik ia harus check-in.

“The, lu sahabat terbaik yang pernah gw punya, makasih selama ini udah jadi kekuatan bagi gw ditengah-tengah berantakannya keluarga gw. Makasih udah selalu jadi buku diari tempat gw nulis semua rasa dalam kehidupan gw, suatu hari nanti jangan lupa untuk nulis buku cerita tentang gw ya…Supaya gw selalu hidup di dalam catatan kehidupan lu…” kata-kata ini terucap begitu lirih dari bibirnya yang selalu merah merona meski tanpa pemulas sedikitpun.

Tangisku pun pecah tak terbendung hingga aku hampir jatuh pingsan. Mungkin terdengar berlebihan, tapi hanya aku dan Laura yang tahu betapa solid kami merakit tiap komponen dalam persahabatan kami. Selain dengan Mamaku tercinta, dan sekarang ini dengan pacarku juga, hanya dengan Laura aku bisa sampai jatuh sakit ketika merasa rindu. Bahkan seringkali aku dan ia jatuh sakit disaat yang bersamaan, itulah sebabnya kami tidak pernah menjenguk satu sama lain ketika sakit. Sangat lucu memang. Tapi demikianlah Tuhan berkarya dalam hubungan pershabatan kami.

Alih-alih meraih kehidupan yang lebih baik di Italia, Laura justru kabur (baca: pulang tanpa izin) dari rumah tantenya, pulang ke Indonesia dengan uangnya sendiri. Tentu saja aku dan ia bergembira karna dapat bertemu kembali, kami merayakannya dengan makan siang bersama. Komunikasi kami terjalin kembali. Kuliahku semakin padat dan ia sedang menikmati pekerjaannya, maka komunikasi kami kembali tersendat. Tapi ia masih berbagi denganku ketika ia akhirnya berpacaran dengan rekan sekerjanya.

***

“Ada apa Ling? Kayaknya lu bersemangat banget? Ada cerita apa?” tanyaku dipercakapan kami malam itu.

“The, Senin depan gw merried!” ujarnya bersemangat.

“Are you kidding me or what? Gak ada angin gak ada ujan tiba-tiba ngasih undangan nikah! Jangan bercanda lu Ling!”

“Gw serius…Gw bakalan nikah sama pacar gw yang gw bilang temen sekerja gw itu The, Senin…dateng ya The…kalo lu gak dateng, gw nangis darah!”

“Gw pasti datenglah Ling, masa lu nikah and melangkah menuju babak baru dalam kehidupan lu gw tega gak dateng…memangnya gw sahabat macam apakah? Tapi Ling…lu dah mateng? Bonyok gimana?”

“Gw dah jadi mualaf The, seminggu yang lalu…bonyok dah pasti gak datenglah The…makanya ini juga gw undang lu bukan ke pesta or resepsi besar, cuma selametan sederhana aja The…” ujarnya dengan suara yang terdengar terbata-bata.

“Ooh…well, I see…whatever lah…that’s your choice and you know what is the best for you…asalkan jangan sampai lu menjadi mualaf hanya karna  tuntutan nikah dari calon suami lu, tapi memang harus karna iman, supaya lu bisa ngejalaninnya tanpa penyesalan suatu saat nanti Ling…gw selalu dukung lu…”

Percakapan berlangsung selama 2 jam lebih dan berakhir dengan penuh canda tawa.

***

“Yes, gw siap untuk ke Bali…Bali, im coming…” kata-kata penuh semangat malam itu karna besok aku akan ke Bali bersama teman-teman seangkatan untuk Kuliah Kerja Nyata selama kurang lebih seminggu.

Ada yang aneh rasanya waktu itu, masih saja ada yang terasa kurang pada malam itu meskipun barang-barang di dalam list bawaanku sudah siap semua. Belum sempat mengingat-ingat apa yang kurang, tiba-tiba seseorang membunyikan dering handphoneku. Laura.

“Ethe…jangan lupa ya besok dateng…jam sepuluh aja The, di mesjid deket Cempaka Putih yaa…” Laura bicara penuh semangat.

Bak ditimpa hujan batu dari langit aku merasa sakit kepala. Bagaimana tidak, besok sahabat terbaikku menikah dan aku sudah berjanji untuk mendampinginya tapi sekaligus besok pagi aku juga harus berangkat ke Bali. Ini tidak bisa kutinggalkan seperti aku meninggalkan kuliahku waktu mengantarnya ke bandara waktu ingin ke Italia. Apa yang harus kukatakan?

“Ooh gitu ya The? Tapi bener kan ini karna lu harus kuliah? Bukan karna gw jadi mualaf dan lu kecewa sama gw?” suara Laura terisak-isak ku dengar.

***

Sejak malam itu tak ada sedikitpun kabar darinya. Aku pernah berusaha mencarinya ke rumah tantenya di sebuah daerah di Jakarta Timur, tapi tetap tak ku temui jejaknya. Nomernya pun tak aktif lagi. Facebook maupun Twitter pun tak banyak membantu. Kemana lagi aku harus mencarimu sahabat?

Saat ini dengan linangan air mata, aku mengangis menulis tulisan ini. Maafkan aku jika aku begitu menyakitimu hingga kau pergi tanpa beri sedikitpun kabar padaku, jangankan kabar, kata perpisahan pun tak ada kau ucapkan. Kini hanya satu yang kuharap darimu sahabat, ucapkan setidaknya kata “Hai” padaku, itu cukup menghapus kerinduanku padamu dan melepas beban bersalahku padamu. Lirihku memohon, maafkan aku sahabat, aku merindukanmu selalu…

Laura, please say “Hi” to me…
***

Selasa, 21 Juni 2011

Hati Merdeka in Review

A few days ago, I forget the day, I watched Hati Merdeka with my friends. Iis, Dyah, Astrid, Citra, and I were surprised when we got the reality that only a few people who watched this film. There’s only about 15 people including us and almost half of it was children. It is good when you see that children love watching local film which show the struggle of our independence but it very saddens when people in my age or in other words is adolescent are less interested in watching it. By giving this review I hope people will be curious and interested in watching this film.
Hati Merdeka, a film that is predicted will present an impressive end of the Trilogy Merdeka, which still produced by the same directors, Yadi Sugandi and Connor Allyn, is presented better than the two previous series. After the first series of the trilogy, Merah Putih, got so many critics for lack of action scenes, Darah Garuda which is the second series of the trilogy then came up with some improvements. Although Darah Garuda still showed a long drama stories, it was able to bring a bit of action and explosion scenes which were quite powerful to create audiences interest to look forward to the end of this trilogy that is Hati Merdeka. Hati Merdeka starts with the narration from Colonel Amir (Lukman Sardi), the same opening with Darah Garuda. Then the scene shifts to all the main characters of this film, Marius (Darius Sinathrya), Dayan (T. Rifnu Wikana), Senja (Rahayu Saraswati), Tomas (Doni Alamsyah), and Captain Amir, where they are planning a mission to retrieve a map from the Dutch colonizers headquarter. The tense of this film is straight up early when the mission of the main characters who are the guerrilla troop known by the colonizers. Moreover the audiences are directly surprised by the demise of Bayu (Aldy Zulfikar), one of the guerrilla troop personnel.
After the tension booster scene of this film in the beginning happened, the scene of the casts and the crews, the date and historic moments after the independence day of Indonesia, and also the core story of this film begin. Unlike the two previous series of this trilogy, guerrilla troop led by Colonel Amir is no longer attack the Dutch colonizers as a whole. They now have a duty to kill Colonel Raymer (Michael Bell), a Dutch army leader, who is narrated have commit to mass murder of the Indonesian in Bali and due to this thing he is considered as a war criminal. It leads to the pre-climax of this film when the command, Colonel Amir, refuses to accomplish this mission by resigning due to the death of Budi in previous mission.
The good aspect of this film is it effects are really like a Hollywood war movie. The shooting scene is really like watching Rambo. The cinematography by using underwater camera when Dayan, Tomas, Marius, and Senja swim at sea in order to escape from an attack from the colonizer’s gunboat is very beautiful and makes you amazing of Indonesian marine wealth. The weapons from World War II like the flamethrower and Shepherd Tank the Allied Forces’ flagship are also exist in this movie. It really gives you a sense of real war.
The bad aspects in this movie exist in the film script or the idea of this film and some scenes that don’t make sense. The depiction of each character looks so shallow and unsympathetic. No significant development of the acting. The main characters’ role seems only continue they role in the two previous series, in short they role is monotone. The main characters are set to be always safe under any circumstances, even when Marius stabbed with a dagger from his back penetrate into the front of his body near his heart and lung and he was lifted by the dagger, without any significant treatment, he can recover from his severe wound, even fought and beat each other with the Dutch army.
In conclusion, I personally rate this movie 7 because the bad aspects are eventful and the climax even makes me feels anti climax.