Kamis, 28 Juli 2011

18 Oktober 2006-18 Juli 2011

18 Juli 2011, sepertinya cara Tuhan berbicara lewat cara yang tak terucapkan (re: kebetulan)...

"Maaf harus sampai di sini" begitulah kata-kata yang ia tulis dalam pesannya...

Malam itu adalah tanggal 17 Juli 2011....
Ku lihat tiba-tiba ia memasang foto seorang perempuan lain sebagai display picture pada gadgetnya (re: Blackberry). Bukan karena aku cemburu, hanya saja berjuta tanda tanya menghampiriku mengapa ia berlaku demikian setelah lebih dari seminggu tidak membalas bbm dariku, pesan singkat, juga tidak mengangkat telepon dariku.
Saat itu aku hanya bisa mengirim bbm dengan permohonan agar ia membalas dan memberi aku penjelasan atas semua ini. "Sibuk..." alasannya mengapa ia tidak menghubungiku, "Iseng..." penjelasannya tentang foto perempuan itu..
Ku katakan saja aku terluka dengan sikapnya, terlebih aku tidak punya muka ketika para sahabat bertanya kenapa ia memajang foto perempuan lain di tengah keadaan ia sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan tinggal cukup terisolasi bersama perempuan itu..apakah ia cinlok? Begitulah kira-kira tanggapan dari para sahabat yang ditujukan padaku dan membuatku semakin tak sanggup bernafas...
"Apakah kamu tidak lagi menghargai aku? Apakah kamu pikir keisenganmu ini lucu disaat telah berhari-hari lamanya kamu cuekin aku?"
"Maaf..." demikian ia menjawab...
"Maaf harus sampai di sini..." lanjutnya...
Tak kuasa aku menahan air mata dan perasaan tidak terima karena aku merasa sedang tidak ada masalah yang aku buat. Apakah karena perempuan lain? Tapi ia selalu menjawab bukan ketika ku tanya... Ia hanya menegaskan bahwa tidak ada alasan dan ini yang terbaik...
Tentu aku tidak bisa terima itu semua, aku katakan agar ia mencoba memikirkannya kembali mengingat semua hal yang sudah kami lewati dan share selama hampir 5 tahun ini.. Bagiku untuk mengakhiri hubungan yang sudah akan menginjak 5 tahun dengan perjuangan yang sangat tidak mudah (hubungan jarak jauh dan beberapa intrik dengan keluarga di masa lampau) dan kini sudah terlibat perasaan sangat sayang, nyaman, dan dekat terhadap keluarga tidak bisa hanya dengan "Tidak ada alasan, hanya inilah yang terbaik untuk kita"...

Kemudian pagi itu saat perjalanan ke kantor, tiba-tiba ia kembali mengucap maaf dan dilanjutkan dengan pesan bahwa ia tidak bisa lagi meneruskan hubungan kami. Sempat sekali aku kembali berusaha bertahan, namun kemudian aku sadar tidak baik memaksanya untuk bersamaku jika ia memang tak ingini hal itu lagi, mungkin kehidupan yang jauh lebih baik menantinya tanpa aku disisinya, aku tidak boleh menjadi batu sandungan baginya. Maka ku katakan "Jika kamu teguh dan telah memikirkannya matang-matang, baiklah aku terima keputusanmu...kita akhiri kisah panjang ini, mimpi-mimpi yang aku bangun dan kau topang, cita-cita yang kita rangkai dan terbangkan ke langit untuk Tuhan peluk..."

Sesaat setelah ku ucapkan hal itu, tak sengaja aku melihat tanggal yang tertera di Blackberryku "18 Juli 2011"
Begitu sempurna Tuhan berbicara...
Air mata tak sengaja terjatuh meski telah sekuat hati dan tenaga ku tahan...beruntung penumpang bus yang lain tidak memperhatikanku, sehingga air mataku dapat ku simpan untuk diriku saja...

Aku mau bersyukur untuk semua air mataku Tuhan...
Tak banyak yang ku minta, hanya mampukanlah aku menjalani rencanaMu...

Sampai saat aku mengetik ini semua, aku masih mengasihinya dan aku sudah mengampuninya...
Peluklah aku dalam kuasaMu Tuhan, agar tidak habis asaku menjalani hari-hari yang kini telah tanpanya...^.^




Kamis, 23 Juni 2011

Laura, please say “Hi..” to me

Semalam aku memimpikan seorang gadis Tionghoa. Gadis itu membuatku menangis ketika aku bangun dan mendapati bahwa aku hanya bermimpi. Terakhir kali aku mendengar suaranya yang khas itu adalah dimalam sebelum aku pergi ke Bali.

“Tuhanlah kekuatan dan mazmurku…Dia gunung batu dan keslamatanku…” nada dering handphoneku melantun. Nomer yang tertera di layar tidak ku kenal, aku ragu untuk mengangkatnya (baca: tidak suka mengangkat telepon dari nomor tak dikenal), namun dorongan untuk mengangkatnya juga kuat. Alhasil aku mengangkatnya.

“Halo, ethe…!!! Lama banget ngangkatnya?” suara diseberang sana terdengar merajuk dan itu tidak asing bagiku.

“Eh, iya maaf... napa Ling?” langsung ku tembak saja si penelepon itu dengan menyebut namanya.

“Wah, lu masih kenal aja suara gw The…walaupun lu dah sombong sama gw…lu emang sahabat sejati gw…” ujar gadis diseberang itu padaku.

***

Fe Ling (Laura) dan aku memang sudah bersahabat sejak kelas 1 SMA, kami begitu dekat karna begitu banyak persamaan dan perbedaan diantara kami. Kami berbagi segala hal. Rahasianya banyak padaku begitu pula rahasiaku disimpannya dengan rapi. Tapi sejak ia pindah sekolah ketika kelas 2 SMA hubungan kami agak sedikit renggang karna tidak bisa lagi sering bertemu, namun kami masih intens berkomunikasi lewat telepon, sms, bahkan bertemu saat weekend. Jarak semakin membentang ketika aku memasuki masa kuliah, Laura yang tidak meneruskan langkahnya untuk kuliah merasa kutinggalkan ketika aku sibuk dengan adaptasiku ditahun pertama kuliah. Dan kesibukanku berlanjut hingga sekarang. Namun dibeberapa momen penting, aku berusaha untuk hadir disampingnya.

Misalnya waktu ia harus pergi ke Italia untuk mencari peruntungan di sana, ia memintaku dengan sangat untuk bisa mengantarkannya ke bandara. Aku dengan segenap ketulusanku meninggalkan kuliahku pada hari itu demi mengantarnya. Tiap kuingat saat itu, mataku pasti berkaca-kaca. Setelah sekian lama hubungan kami renggang, saat itu kutemui diriku ada dihadapannya untuk melepasnya pergi jauh ke negeri orang tanpa tahu apakah ia akan kembali atau menetap di sana. Saat itu aku merasa satu kakiku hilang ditelan bumi hingga tubuhku goyah tak bisa berdiri dengan baik, sahabat terbaikku pergi meninggalkan aku dan segudang cerita tentang kami. Air mata kami terurai satu sama lain ketika aku memeluknya di detik-detik ia harus check-in.

“The, lu sahabat terbaik yang pernah gw punya, makasih selama ini udah jadi kekuatan bagi gw ditengah-tengah berantakannya keluarga gw. Makasih udah selalu jadi buku diari tempat gw nulis semua rasa dalam kehidupan gw, suatu hari nanti jangan lupa untuk nulis buku cerita tentang gw ya…Supaya gw selalu hidup di dalam catatan kehidupan lu…” kata-kata ini terucap begitu lirih dari bibirnya yang selalu merah merona meski tanpa pemulas sedikitpun.

Tangisku pun pecah tak terbendung hingga aku hampir jatuh pingsan. Mungkin terdengar berlebihan, tapi hanya aku dan Laura yang tahu betapa solid kami merakit tiap komponen dalam persahabatan kami. Selain dengan Mamaku tercinta, dan sekarang ini dengan pacarku juga, hanya dengan Laura aku bisa sampai jatuh sakit ketika merasa rindu. Bahkan seringkali aku dan ia jatuh sakit disaat yang bersamaan, itulah sebabnya kami tidak pernah menjenguk satu sama lain ketika sakit. Sangat lucu memang. Tapi demikianlah Tuhan berkarya dalam hubungan pershabatan kami.

Alih-alih meraih kehidupan yang lebih baik di Italia, Laura justru kabur (baca: pulang tanpa izin) dari rumah tantenya, pulang ke Indonesia dengan uangnya sendiri. Tentu saja aku dan ia bergembira karna dapat bertemu kembali, kami merayakannya dengan makan siang bersama. Komunikasi kami terjalin kembali. Kuliahku semakin padat dan ia sedang menikmati pekerjaannya, maka komunikasi kami kembali tersendat. Tapi ia masih berbagi denganku ketika ia akhirnya berpacaran dengan rekan sekerjanya.

***

“Ada apa Ling? Kayaknya lu bersemangat banget? Ada cerita apa?” tanyaku dipercakapan kami malam itu.

“The, Senin depan gw merried!” ujarnya bersemangat.

“Are you kidding me or what? Gak ada angin gak ada ujan tiba-tiba ngasih undangan nikah! Jangan bercanda lu Ling!”

“Gw serius…Gw bakalan nikah sama pacar gw yang gw bilang temen sekerja gw itu The, Senin…dateng ya The…kalo lu gak dateng, gw nangis darah!”

“Gw pasti datenglah Ling, masa lu nikah and melangkah menuju babak baru dalam kehidupan lu gw tega gak dateng…memangnya gw sahabat macam apakah? Tapi Ling…lu dah mateng? Bonyok gimana?”

“Gw dah jadi mualaf The, seminggu yang lalu…bonyok dah pasti gak datenglah The…makanya ini juga gw undang lu bukan ke pesta or resepsi besar, cuma selametan sederhana aja The…” ujarnya dengan suara yang terdengar terbata-bata.

“Ooh…well, I see…whatever lah…that’s your choice and you know what is the best for you…asalkan jangan sampai lu menjadi mualaf hanya karna  tuntutan nikah dari calon suami lu, tapi memang harus karna iman, supaya lu bisa ngejalaninnya tanpa penyesalan suatu saat nanti Ling…gw selalu dukung lu…”

Percakapan berlangsung selama 2 jam lebih dan berakhir dengan penuh canda tawa.

***

“Yes, gw siap untuk ke Bali…Bali, im coming…” kata-kata penuh semangat malam itu karna besok aku akan ke Bali bersama teman-teman seangkatan untuk Kuliah Kerja Nyata selama kurang lebih seminggu.

Ada yang aneh rasanya waktu itu, masih saja ada yang terasa kurang pada malam itu meskipun barang-barang di dalam list bawaanku sudah siap semua. Belum sempat mengingat-ingat apa yang kurang, tiba-tiba seseorang membunyikan dering handphoneku. Laura.

“Ethe…jangan lupa ya besok dateng…jam sepuluh aja The, di mesjid deket Cempaka Putih yaa…” Laura bicara penuh semangat.

Bak ditimpa hujan batu dari langit aku merasa sakit kepala. Bagaimana tidak, besok sahabat terbaikku menikah dan aku sudah berjanji untuk mendampinginya tapi sekaligus besok pagi aku juga harus berangkat ke Bali. Ini tidak bisa kutinggalkan seperti aku meninggalkan kuliahku waktu mengantarnya ke bandara waktu ingin ke Italia. Apa yang harus kukatakan?

“Ooh gitu ya The? Tapi bener kan ini karna lu harus kuliah? Bukan karna gw jadi mualaf dan lu kecewa sama gw?” suara Laura terisak-isak ku dengar.

***

Sejak malam itu tak ada sedikitpun kabar darinya. Aku pernah berusaha mencarinya ke rumah tantenya di sebuah daerah di Jakarta Timur, tapi tetap tak ku temui jejaknya. Nomernya pun tak aktif lagi. Facebook maupun Twitter pun tak banyak membantu. Kemana lagi aku harus mencarimu sahabat?

Saat ini dengan linangan air mata, aku mengangis menulis tulisan ini. Maafkan aku jika aku begitu menyakitimu hingga kau pergi tanpa beri sedikitpun kabar padaku, jangankan kabar, kata perpisahan pun tak ada kau ucapkan. Kini hanya satu yang kuharap darimu sahabat, ucapkan setidaknya kata “Hai” padaku, itu cukup menghapus kerinduanku padamu dan melepas beban bersalahku padamu. Lirihku memohon, maafkan aku sahabat, aku merindukanmu selalu…

Laura, please say “Hi” to me…
***

Selasa, 21 Juni 2011

Hati Merdeka in Review

A few days ago, I forget the day, I watched Hati Merdeka with my friends. Iis, Dyah, Astrid, Citra, and I were surprised when we got the reality that only a few people who watched this film. There’s only about 15 people including us and almost half of it was children. It is good when you see that children love watching local film which show the struggle of our independence but it very saddens when people in my age or in other words is adolescent are less interested in watching it. By giving this review I hope people will be curious and interested in watching this film.
Hati Merdeka, a film that is predicted will present an impressive end of the Trilogy Merdeka, which still produced by the same directors, Yadi Sugandi and Connor Allyn, is presented better than the two previous series. After the first series of the trilogy, Merah Putih, got so many critics for lack of action scenes, Darah Garuda which is the second series of the trilogy then came up with some improvements. Although Darah Garuda still showed a long drama stories, it was able to bring a bit of action and explosion scenes which were quite powerful to create audiences interest to look forward to the end of this trilogy that is Hati Merdeka. Hati Merdeka starts with the narration from Colonel Amir (Lukman Sardi), the same opening with Darah Garuda. Then the scene shifts to all the main characters of this film, Marius (Darius Sinathrya), Dayan (T. Rifnu Wikana), Senja (Rahayu Saraswati), Tomas (Doni Alamsyah), and Captain Amir, where they are planning a mission to retrieve a map from the Dutch colonizers headquarter. The tense of this film is straight up early when the mission of the main characters who are the guerrilla troop known by the colonizers. Moreover the audiences are directly surprised by the demise of Bayu (Aldy Zulfikar), one of the guerrilla troop personnel.
After the tension booster scene of this film in the beginning happened, the scene of the casts and the crews, the date and historic moments after the independence day of Indonesia, and also the core story of this film begin. Unlike the two previous series of this trilogy, guerrilla troop led by Colonel Amir is no longer attack the Dutch colonizers as a whole. They now have a duty to kill Colonel Raymer (Michael Bell), a Dutch army leader, who is narrated have commit to mass murder of the Indonesian in Bali and due to this thing he is considered as a war criminal. It leads to the pre-climax of this film when the command, Colonel Amir, refuses to accomplish this mission by resigning due to the death of Budi in previous mission.
The good aspect of this film is it effects are really like a Hollywood war movie. The shooting scene is really like watching Rambo. The cinematography by using underwater camera when Dayan, Tomas, Marius, and Senja swim at sea in order to escape from an attack from the colonizer’s gunboat is very beautiful and makes you amazing of Indonesian marine wealth. The weapons from World War II like the flamethrower and Shepherd Tank the Allied Forces’ flagship are also exist in this movie. It really gives you a sense of real war.
The bad aspects in this movie exist in the film script or the idea of this film and some scenes that don’t make sense. The depiction of each character looks so shallow and unsympathetic. No significant development of the acting. The main characters’ role seems only continue they role in the two previous series, in short they role is monotone. The main characters are set to be always safe under any circumstances, even when Marius stabbed with a dagger from his back penetrate into the front of his body near his heart and lung and he was lifted by the dagger, without any significant treatment, he can recover from his severe wound, even fought and beat each other with the Dutch army.
In conclusion, I personally rate this movie 7 because the bad aspects are eventful and the climax even makes me feels anti climax.

Minggu, 15 Mei 2011

Sorry, I Shouldn’t Love You

“Hey Mia, look at that!” my best friend ever after shouted to me.
“What’s going on?” “It seems to me you see Christiano Ronaldo here!” I satirized her.
“How do you know?” my friend, Jolly, answered.
Well suddenly my brain tried to elaborate what she meant by “how do you know”, it seemed that yes there was Christiano Ronaldo in my campus. I tried to notice people around me, looked for somebody who may referred to by Jolly my friend. Yes, I found somebody with a beautiful physique like an athlete, riding a sporty motorcycle, but he has big eyes.
“Ahh, forget it Jolly!” I tried to cut my and her imagination about this guy. “Why? Because of his big eyes?” Jolly tried questioning my opinion.
“Yes, absolutely correct! Don’t talk about it anymore!” I ended the conversation and then left her alone in the park.
…..
Bump! My back was hit by someone who ran helter-skelter.
“Ouch!” I screamed up to top my voice and made everyone who was around turned their eyes to me. Well, people might think that I was too much at that time but I swore it felt so much pain to me. Could you imagine my small skinny body as if hit by a giant?
“I’m sorry, my mistake, I don’t see you because of I’m in a hurry!” said the giant. Oh my bloody gosh, the giant was the big eyes man, didn’t he use his big eyes to see me, I blasphemed in my heart.
I didn’t know exactly what happened after the big eyes man hit me, but when I opened my eyes I already in a clinic.
“Thanks God, finally you wake up from your fainting. You have been fainted about three hours.”
I tried to recognize the sound. When I got my consciousness full, I found the big eyes man put his nose close to mine, and then I became nervous.
“What are you doing? Put your nose away from me! I even can smell your mouth odour that makes me want to vomit! So please…!” this was what I meant by too much for me. Actually I didn’t want to vomit because of his mouth odour but I was nervous realized that he was very close to me.
“Oh, I’m sorry, I just wanna assure that you already sober from your faint.” He tried to take up the cudgels for me.
“By putting your nose close to mine? Oh, come on!” I countered him.
I got up from my bed to go home, but my back was still hurt and it made me hard to breath.
“Let me help you.” The big eyes man helped me to go back to my bed.
“I’m sorry, because of my mistake you are now sick.” I could see his regret that sincerely reflected in his eyes. However, I still countered him not because I was angry but I didn’t want he realized that I was nervous nearby him.
“Is there anything else you can say besides sorry, huh? What happened to my body? What the doctor said?” I tried to switch my mind from him and started thinking about my back.
Without saying sorry anymore he said that there is a little bruised by strong collisions in my back. But fortunately there was no big deal. I just needed to take some rest for a couple of days.
“By the way, I’m Reza, Reza Suharto. What’s your name?” he held out his hand, but I didn’t respond him at all.
….
“Mia, wait for me..” somebody called me but I didn’t familiar with the voice.
“Hello Mia, how’s your back?” I got surprised, the big eyes man.
“How could you know my name Mr. Big eyes?” as usual I tried to counter him.
“Easy, just looked at your id card.”
“My id card? How you get that?”
“Mia…..” he called my name with a gentle soft tone and gave me a charming smile as if I was someone who close to him and he absolutely loved. Somehow I felt that way, silly me!
“Mia…do you remember who did take you to the clinic yesterday?” He continued.
“Aah, I see..” I got his point.
“So, how is it?”
“What?”
“Your back..”
I didn’t know what happen to me, but I felt so nervous at that time, since I could smell his mouth odour which wasn’t made me want to vomit at all, and felt our nose so close to each other, I couldn’t handle my heart beat when I remembered him moreover had a face to face conversation like this.
“Oh, my back? It’s getting better, don’t worry.” I answered him with a smooth shaking voice.
“Good, how’s about having lunch together after the class?”
Oh my God, this big eyes man tried to ask me for a date, yes, that what I was thinking about.
“Umm..Is it a date invitation?” Gosh, why I asked him like that, owh..again..silly me!
….
Day by day according to twist of fate, I became increasingly close to him. We share a lot of things together and all we’ve been through was beautiful, though I knew there was something wrong that I shouldn’t do. Our relationship went unnoticed for a long time even without any words like “Would you be my girl?”. We live moment by moment like a pair of lovers, until Reza asked me to take him to meet my parents.
“I wanna meet your parents, when would you take me to meet them?” Reza’s question suddenly reminded me to the reality that I shouldn’t love him.
“Umm.. You know what, I don’t think that meet my parent is a good idea.”
“Why not? Look.. actually I want to tell you this by the unforgettable moment, but I think it’s alright to tell you now.” My heart seemed know what would he said, but my mind refused to imagine what would he said.
“Mia…I would like to meet you parents to propose you, to talk about our future.”
“No, you won’t!” spontaneously I answered him with a loud and firmly so that made him confused.
“Why did you say that?” He tried questioning my answer.
“Well, I just can’t make it through anymore, better we end all this things by now.” I didn’t know how to explain the principal reason why we couldn’t bring this relationship further than now. Something that crossed in my mind day by day after having an intimate relationship with him was I had to end this as soon as possible before we loved more deeply to each other.
“End up? Are you insane Mia? What’s going on with you?” I could see his confusion from his expression but still I couldn’t explain it to him brightly.
“Ahhh… Just keep in you mind that I’m a bad girl and I never seriously build our relationship, that will help you to recover your heart then.”
I knew that I hurt him so much and left him with a big question about my decision, but me too, I did hurt too. I even couldn’t feel my heart still beating. I hope that this was the best for me and him.
….
“Mom, I’m home.” I just got home after the painful day with Reza.
“Have u got your dinner, Mia?” my mother asked me.
“Yes, I have it.”
“So, then please help your sister to have her dinner.”
I went to my sister’s bedroom with my sadness which I hide in. Not only because I ended up with Reza this day but also because something in my family. I tried to not crying every time I went to my sister’s bedroom.
“Hello my gorgeous sister, let’s have some dinner.”
“Praaaaannnggg!!!” The plate fell out of my hand. My sister did it. It might be because she didn’t take the medicine.
“Mom, please help me here!” I shouted to my mom, looking for some help.
My mom and I tried very hard to calm my sister. We even tied her in her bed. My family was a victim of the riots of the Mei 1998. My name is Amelia Liem, my father was killed by the all-out looting towards the Tionghoa by the native in Indonesia and my sister was be raped at that time. This was my principal reason why I shouldn’t love Reza Suharto as an Indonesian though I am an Indonesian.
***

Selasa, 05 April 2011

THE END

Would you listen to me?
I would dear, but I’m sorry..
It doesn’t matter..
Would you see me?
I want to honey, but sorry..
It doesn’t matter..

May I take your time?
Not now dear, I’m sorry..        
It doesn’t matter..             
May I lay on your hands?       
I love to, but sorry..               
It doesn’t matter..


Like leaves swing everytime when the wind blows..
I let my heart on you..
Like a pigeon in a cage..
I stay on you..
Like a star to the moon..
I give my life’s luminosity for you..


But, don’t you know baby..
Love is not about everlasting sorry..
Now let me be free..
Like an eagle, now I wanT to say I’m sorry..

Sabtu, 05 Maret 2011

Love Always Forgives You...

Do you believe me?
He asked me..
I didn’t know what the right answer..
After all this time, my mind said no..
On the other side, my heart said yes..
What I’m supposed to do?
Then I remember our long journey..
How hard he and I try to keep this journey..
When I was lost, he grasp my hand..
And whisper,,
You shouldn’t be there, come here..
I’ll give you whole of my heart to have some rest for a while..
Hereby you can look back..
Look at me, waiting for your come back..
To give you a smile and swept you tears..
Then you can kiss me and leave all of your sorrow
So do I,,
Well, I just want to tell you..
I do love you..
Darl..
Love is not about everlasting saying sorry..
But love always forgives you..
I do believe you for the umpteenth time..
^.^

Rabu, 02 Maret 2011

Malaikat Cinta di Sekolah...(part 2)

…………Pagi itu benar-benar penuh dengan peluh buat gue. Nafas gue juga ngos-ngosan gara-gara harus lari keliling lapangan sekolah sebanyak 3 seri, maklumlah gue bukan orang yang seneng olahraga. Gue harap Zelvi gak akan nyusahin semua orang lagi. 
“Thanks a lot Zelvi!”


Gue and satu barisan tempat Zelvi baris akhirnya dibolehin masuk kelas setelah menjalani hukuman. Well inilah saat yang paling gue tunggu-tunggu yaitu mengetahui apa sih sebenernya “Roti Mabok” itu.
“Taro semua bahan makanan di atas meja!” seorang senior cewek yang sok lucu and manja berujar dengan semangat 45 sampe-sampe gue bisa ngelihat lubang tenggorokkannya dari jarak 2 meter. (gue penasaran berapa centi ukuran diameter mulutnya saat dia mangap..) Waduh, kok gak ada yang bawa minuman kaleng kayak yang gue bawa ya? Sejenak gue berpikir kalo gue bisa mabok gara-gara minum minuman ini, berarti minuman ini mungkin jenis minuman yang dilarang alias minuman keras. 
Gue takut!


Satu per satu meja semua temen-temen gue diperiksa kelengkapan bawaannya, dan gue masih menyembunyikan rootbeer di dalam tas karung gue. Gue keringat dingin! Senior laki-laki dengan postur proporsional, bermata sipit, kulit putih bersih, bibir merah merona (tanpa gincu) dan wangi menggoda menginspeksi meja gue. Saat itu jumlah bawaan yang harus dibawa sekitar 7 item, tapi pas koko, panggilan kakak laki-laki keturunan tionghoa, ganteng itu ngitung bawaan gue dia sempet gak peduli. Thanks God. Tapi gue juga saat itu sebenernya udah gak peduli sama situasi saat itu, gue Cuma terpesona sama wanginya si koko and juga bibirnya yang merah merona.

Dia berlalu sampe akhirnya semua murid udah selesai diinspeksi. Suddenly nama gue dipanggil and disuruh maju ke depan kelas. Waktu itu yang dipanggil cuma gue. Sumpah, gue malu! “sebelum kakak kasih tau jawaban dari semua bawaan yang harusnya kalian bawa, kakak mau perkenalkan seseorang yang udah berani gak bawa bawaan lengkap sesuai yang disuruh.” Oh my gosh!!!


“mama……aku salah bawa. Bukan rootbeer tapi roti dengan merk BOTI” (harus sebut merk biar clear..hehehe). “loh apa pula maksudnya itu? Kenapa dibilang roti mabok?” nyokap bingung. Gue juga sama bingungnya saat itu tapi untungnya si koko sempet ngasih penjelasan, “gak tau tuh ma, katanya di lingkungan sekolah itu orang-orang menyebut mabok dengan boti.” GUBRAK!!


Tiga hari masa orientasi berlalu dengan tidak banyak meninggalkan kesan kecuali gue mengenal seseorang bernama Rangga. Dia satu-satunya senior yang memuji kemampuan keterampilan baris-berbaris yang gue punya, maklumlah gue waktu di SMP ikut Pramuka and Paskibra. Rangga juga ternyata seorang anggota Paskibra di SMA gue, sempet gak percaya sih soalnya untuk ukuran cowok tingginya bisa dibilang agak jongkok..hehehe…
Rangga itu tipe cowok romantis and gentle, suatu hari dia samperin gue waktu gue kecapekan lari pas latihan baris-berbaris. Lebih dari itu dia bawain gue minuman and tisu untuk ngelap keringet gue. Dia juga selalu bisa bikin hati gue berbunga-bunga karna dia gak henti-hentinya muji keterampilan baris-berbaris gue, meskipun sebenernya gue lebih seneng lagi kalo sampe dia muji kecantikan alamiah yang gue miliki (narsis…). Karena semua kebaikan yang Rangga kasih untuk gue, entah kenapa gue sedikit demi sedikit mampu bangkit dari keterpurukan gue akibat si Ricardo. Apakah gue udah jatuh cinta lagi??


Hari pertama masuk sekolah usai MOS, gue dateng kepagian and lagi sendirian di kelas sambil baca komik kesukaan gue, Doraemon, tiba-tiba ada suara langkah yang gue denger dari kejauhan. Gue mencoba untuk gak peduli, paling-paling temen satu kelas gue. Langkah itu semakin deket, tapi gak tau kenapa, seperti memiliki firasat, gue merasa deg-degan. Posisi duduk gue yang selalu condong kedepan waktu membaca buku membuat gue gak bisa ngelihat secara jelas siapa yang dateng. Tapi wanginya seperti gak asing buat gue. Kayak wanginya Rangga!!


“Early, makasih banyak ya untuk kadonya. Koko suka!” (Rangga senior gue yang diem-diem mencuri perhatian gue itu juga seorang keturunan Tionghoa, jadi gue panggil dia koko) “emh..eh..iya..sama-sama koko, aku seneng kalo koko suka sama kado dari aku.” Gue gelagapan gitu, gimana enggak, dia selalu mandang mata gue tanpa pernah dia biarin mata gue lepas dari tatapan matanya. Kado itu adalah sebuah jam meja berbentuk gitar berwarna merah, and itu gue kasih waktu penutupan MOS dimana waktu itu setiap murid baru wajib ngasih kado untuk kakak kelas yang dianggap menyenangkan ataupun yang disukai oleh tiap individu.


Belum lagi nafas gue teratur karena deg-degan ditatap sedalam itu sama si Rangga, tiba-tiba dari balik punggungnya dia ngasih gue sekuntum mawar merah..aaaah… Gue gak bisa mengontrol detak jantung gue yang semakin berdegup kenceng lebih dari kayak lagi dikejar-kejar hantu, senyum merekah tersimpul spontan dari bibir gue, mata gue berbinar and berkaca-kaca antara mau nangis bahagia atau pedih karena jarang banget ngedip gara-gara gue gak mau ngelewatin sedetik pun tanpa mengagumi wajah Rangga yang cool kayak Tuxedo Bertopeng difilm kartun Sailormoon. “emmh..eng..eng..ma..ma..makasih ko, aku..aku..” “ehem…” (suara cowok yang belum gue kenal dengan baik) Aaahh sial, ada temen sekelas gue yang dateng!! Dan Rangga pun berlalu tanpa kata, hanya memberikan senyum sambil berlalu. 
Aaaaarrrrrrgggghhhhh!!!!!


Bersambung……

Minggu, 27 Februari 2011

Malaikat Cinta di Sekolah...(part 1)

Hari ini gue kembali masuk sekolah. Suasana yang udah setahun ini gue tinggalkan karena mama sakit. Ya ampun, jantung gue dag-dig-dug, ini hari pertama gue jadi anak SMA, di otak gue penuh dengan bayangan akan kayak gimana MOS gue hari ini. Orang pertama yang gue lihat adalah seorang cewek berdiri deket ruang TU, tinggi, kurus, rambutnya ikal, pakaiannya rapih, tapi matanya agak sayu berlebihan..hehehe..plus jutek banget pandangannya (mungkin pengaruh dari matanya yang sayu itu..). sumpah aneh banget gue ngliat ni cewek! Kayak orang gizi buruk! Gue berdiri di deket dia tanpa satu patah kata pun terlontar dari gue maupun dia. Sampai akhirnya bel bunyi and beberapa kakak kelas teriak-teriak ngebossy nyuruh semua murid baru untuk baris sebelum masuk kelas.
Gue ambil tempat paling belakang aja ah, masih gak PD untuk ngeksis. Selama beberapa menit gue dengerin cuap-cuap-cuapan kakak senior (ketua osis.red) sampai akhirnya dia ngumumin gue masuk kelas A dalam MOS kali ini.
“Gila! Sipit semua nih orang-orang. Bikin gue merasa jadi alien di sini.” Gue langsung ambil posisi duduk di belakang, sendirian. Hari itu acaranya cuma biasa-biasa ja, perkenalan and pemberitahuan apa-apa ja yang harus di bawa saat hari penyiksaan besok tiba. Selain itu segala ada acara pengaturan tempat duduk pula, aih… untung aja gue duduk sama cewek, coba sama cowok, bisa mati gaya gue. (maklumlah gue gak cantik tapi pinter kalo kata orang-orang, jadi tetep ja masih ada kurangnya, plus waktu itu gue masih patah hati gara-gara si Ricardo, mantan gue yang brengsek!)
Ricardo itu sebenernya sepupu gue yang gue pacarin tanpa diketahui sama bonyok gue and bonyoknya dia. Lumayan lama lah gue pacaran sama dia. Sejak gue kelas 2 SMP sampe gue cuti sekolah, ya sekitar 2,5 tahun lah, and waktu itu kita ngejalanin long distance relationship gitu antara Bogor-Bandung. Tiap minggu dia pasti liburan ke Bogor, alasannya ngunjungin bonyok gue, padahal mau kencan sama gue..hehehehe… Sampe suatu hari dia dateng and ngajak gue ketemuan di bakery tempat gue and dia biasa nyobain cakes and bakeries baru khas dari toko tersebut. Seneng banget gue waktu itu, tapi kesenegan itu tiba-tiba berubah jadi air mata yang deresnya ngalahin mata air sumur di rumah (berlebihan..), dia dateng gak sendiri tapi bareng seorang cewek kuliahan kayaknya and dia bilang itu cewek barunya. Can you imagine that? Gue cewekny and itu cewek barunya..apa coba maksudnya? Well, singkat cerita gue putus lah sama dia and itu ninggalin trauma yang membekas sampe sekarang.
Hari pertama gue jalanin MOS belum ada sesuatu yang berarti selain gue jadi punya nomer temen-temen sekelompok gue yang gue harap bisa jadi temen deket gue and ngebantuin gue untuk mecahin teka-teki bawaan MOS gue besok. Malem ini gue siapin semua yang gue butuhin untuk besok, ada satu yang gue gak ngerti tentang bawaan gue besok yaitu “roti mabok”. What kind of things deal with those words??? Ini adalah awal gue jadi temenan sama seseorang yang namanya Zelvi. Dia cewek keturunan tionghoa yang cukup menarik. Gue telepon dia malem itu, tapi unfortunately dia juga gak tau apa yang dimaksud dengan “roti mabok” tersebut. Tapi sejak malem itu gue jadi sering diskusi sama dia tentang apapun. Anyway, karena gue gak mau dihukum besok pagi akhirnya gue berpikir keras tentang apa itu “roti mabok”, entah dapet ilham dari mana tiba-tiba terpikir oleh gue minuman bernama rootbeer. Gue berasumsi mungkin roti=root and mabok=beer. Parahnya gue beli bukan cuma untuk gue bawa besok, tapi gue beli untuk gue cobain juga. Dasar kampung, gue minum itu minuman kaleng sampe habis and selang beberapa menit gue bener-bener MABOK. Watta deciles thing I’ve ever done! “mama, kepalaku pusing banget.. semuanya kelihatan goyang-goyang..mual juga..” sontak nyokap kebingungan and nanya “kamu habis ngapain emangnya?, habis makan apa”, gue jawab “habis minum rootbeer 1 kaleng, ma..” Nyokap malah ketawa sambil bilang “masa rootbeer aja berhasil bikin kamu mabok sih? Tidur sana biar pusingnya hilang, oya, seduh juga tuh madu yang ada dikulkas biar jadi penetralisir!”
Gue baru ngerasain begini toh rasanya tidur ala orang mabok, bangun-bangun kepala gue berat banget..kalo bisa dicopot, pengen banget gue copot saat itu juga. Tapi gak mungkin karena mau gue kuncir-kuncir juga nih rambut di kepala. Pagi ini gue berangkat dengan rempong banget. Bawa-bawa tongkat bamboo, rambut kuncir delapan dihiasi sedotan, kaki gue dibalut kaos kaki bola warna merah and biru (FYI betis gue yang gede fit banget dah sama kaos kaki itu, gue bener-bener kayak pemain bola..!!), leher digantungin name tag plus dot bayi berisi teh pait. Ah, pokoknya rempong and yuck banget deh.
Sesampainya gue di tempat penyiksaan gue hamper terlambat, gue langsung cepet-cepet masuk barisan and nyempil diantara temen-temen gue yang udah baris duluan. Samping gue si Zelvi, Damn! Dia nyari gara-gara dengan menggulung kaos kakinya se-mata kaki, padahal perintahnya harus dipake selutut. Well, dua orang senior laki-laki tertuju pandangannya kearah Zelvi, dua orang ini serupa tapi tak sama. Sama-sama tinggi, botak, kurus, item, and terlihat galak. “Zel, naikin deh kaos kaki lo, daripada nanti lo dihukum.” “Ogah ah, ngapain..gak banget tau!” “iya, tapi lo udah diincer gitu, nanti lo dihukum loh, parahnya lagi nanti malah bukan Cuma lo doing yang dihukum, bisa-bisa kita satu kelompok ikut dihukum juga.” Gue agak heran juga sama diri gue sendiri, orang lain yang diincer ngapain gue yang ribet and ketakutan. Tapi bener aja, si Zelvi akhirnya ditegur, tapi dasar keras kepala dia tetep gak mau naikin kaos kakinya, and akhirnya……






Bersambung……