Percaya atau tidak, tidak banyak yang dapat ku ingat dari sosok ibuku yang biasa ku panggil MAMA. Sejak aku kecil mama selalu sakit-sakitan, maklumlah pada saat itu beliau berusia 37 tahun dengan penyakit hipertensi yang dideritanya. Kala aku ingat cerita orang tentang bagaimana perjuangannya semasa mengandung dan melahirkanku maka kekecewaanku akan waktunya yang tak tersedia untukku di masa kecil langsung sirna. Beliau mengandungku dengan hipertensi yang sangat mengkhawatirkan, penglihatannya bahkan telah hilang sementara saat itu, kedua kakinya pun tak mampu menopang tubuhnya dan ragaku dalam kandungannya. Sampai pada saat melahirkan pun beliau harus meregang nyawa menjalani operasi yang jika dihubungkan dengan penyakit hipertensinya akan berakibat fatal. Beliau dan ayahku justru mengambil resiko tetap melahirkan aku ke dunia ini dan menukarnya dengan kesempatan hidup ibuku. Menetes air mataku tiap kali aku ingat kasihnya ini padaku. Padahal dahulu sebelum kandungannya besar, beliau tidak mengharapkan kehadiranku karena sudah ada abang dan kakakku yang melengkapi hidup mama dan papa. Tapi rupanya beliau jatuh cinta kepadaku hingga akhirnya ia merawatku dengan penuh kasih sayang dan berkorban sangat besar untuk melahirkanku ke dunia ini.
Hipertensi yang dideritanya berlanjut hingga aku menapaki usia kanak-kanak. Seluruh perhatian ayah, abang dan kakakku tercurah pada ibuku yang untuk kesekian kalinya harus merasakan jarum infus dan suntikkan merajam tubuhnya, merasakan mahalnya oksigen untuk bernafas. Saat itu aku terpaksa dititpkan kepada salah seorang keluarga. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, keluarga tidak pernah memberitahu ku bahwa mama sakit, mereka hanya mengatakan mama sedang pergi menginap di suatu tempat. Meskipun aku sudah berkali-kali jatuh sakit karena rinduku yang tak tertahan pada mama, tetap saja aku tidak diizinkan untuk mengetahui yang sebenarnya. Mungkin ini cara mereka untuk menjaga kondisi psikologiku agar aku bisa tetap tenang menjalani hari-hariku. Namun tidak semua yang orang dewasa pikirkan sejalan dengan kenyataan. Alih-alih psikologiku tenang, aku justru selalu bertanya dalam hatiku, mengapa mama tega meninggalkan aku menginap di tempat lain. Bahkan aku yang pada saat itu masih duduk di kelas nol besar taman kanak-kanak seringkali menangis di dalam kelas atau di tempat sunyi karena melihat teman-teman sebayaku diantar oleh ibunya, disuapi makan ketika istirahat, dibawakan tasnya ketika mereka pulang, dicium pipinya ketika mereka mendapat nilai bagus, dipeluk ketika mereka menangis kesakitan habis terjatuh saat bermain. Aku menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup di sekolah. Menyadari hal itu, tanteku yang merawatku semasa aku kanak-kanak selalu berusaha membuat aku tersenyum dan banyak bicara di rumah. Sepupuku juga banyak membantu aku untuk bisa tersenyum di rumah, meskipun tiap kali aku berangkat tidur aku selalu menangis dalam doaku merindukan mama, bahkan seluruh keluargaku. Cukup sering aku jatuh sakit kala itu, tapi tak juga merubah keadaan bahwa aku tidak bisa menemui mama dan aku merasa terbuang.
Pernah suatu kali, ketika ibu guru menyuruhku memberitahu tante bahwa aku harus menabung setiap harinya, aku merasa bingung, sebab aku ingat mama pernah bilang tidak baik meminta uang dari orang lain kecuali mama dan papa. Saat itu aku tidak diberi uang jajan karena aku selalu dibekali makanan dan minuman sehingga aku sendiri pun tidak punya uang pribadi untuk ditabung. Hari itu aku menangis dikamar, menangis tanpa suara agar tante tidak mendengarnya. Namun tante yang begitu perhatian dan juga sayang padaku tidak pernah luput dari tingkahku yang mulai aneh meski sedikit. Lalu tante memanggilku keluar untuk makan puding buatannya, dengan mata sembab yang berusaha kusembunyikan aku keluar dan memakan puding coklat yang sedap asli buatan tanteku. Tante bertanya tentang bagaimana rasa dari puding buatannya itu, aku sempat diam dan tidak mau menjawab karena jika aku bersuara maka tante akan tahu bahwa suaraku masih bergetar karena menangis tadi. Tapi tante berkali-kali bertanya dan akhirnya dengan berusaha sangat keras menyembunyikan getar suaraku, aku menjawab "Enak banget nantulang". Terungkaplah bahwa aku menangis dan aku jujur mengungkapkan mengapa aku menangis, lalu dengan hati malaikatnya tanteku mengatakan bahwa ia akan memberiku uang setiap harinya untuk aku tabung, namun aku merasa tidak enak dengan kebaikannya itu sehingga aku berkata; "Nantulang, terima kasih ya, nanti kalau tabungannya sudah banyak dan dibagi sama ibu guru, aku kasih nantulang semuanya ya, soalnya kata mama enggak baik minta uang dari orang lain..." Sekejap air mata tanteku mengalir dan ia memelukku erat sambil berkata; "Boru, kamu enggak minta, kan nantulang kasih.."
bersambung.......
nantulangnya baik...banget :)
BalasHapus